Pemilu 2009

Pemilu 2009
Anti Politisi Busuk

Anti Korupsi

Anti Korupsi
Jangan pilih pemimpin Korup!!

Selasa, 31 Maret 2009

Ketika Musim Panen Padi Tiba di Kabupaten Pemalang

Radar Pemalang

SINAR matahari, Minggu (29/3) kemarin belum nampak terbit diufuk timur. Namun sejumlah petani asal Desa Wanamulya Kecamatan Pemalang mengunakan sepeda dan bercaping, berbondong- bondong menuju ladang persawahan yang berjarak kurang lebih 700 meter.

Pukul 07.00 itu ketiganya memanen, sekaligus nggepyok padi milik tetangga mereka, Yasin (50).

Pekerjaan itu mereka lakukan atas permintaan Yasin. Sudah menjadi kebiasaan petani di Wanamulya, apabila ada tetangga yang panen, mereka akan membantu.

"Seperti ini sudah biasa di sini. Sejak dulu, ya begitu. Kalau ada yang panen, ya gotong royong. Saling membantu. Nanti giliran saya yang panen, yang lain juga membantu," tutur Rohim, yang kini tanaman padinya baru berusia dua bulan. Sekitar pukul 10.00, Rohim dan dua rekan-rekannya menyelesaikan pekerjaan memotong batang padi.

Mereka semuanya petani. Sudah menjadi tradisi pula, tetangga datang di acara panenan. Tugas mereka berbeda-beda. Ada yang ikut nggepyok, ngasak pari, ada pula yang mengumpulkan jerami.

Nggepyok padi adalah merontokkan padi dengan cara menumbuk batang padi yang masih dipenuhi bulir gabah ke sebongkah batu atau kayu. Penumbukan dilakukan beberapa kali sampai bulir padi nyaris habis di tangkainya. Satu gepyokan batang padi biasanya tiga genggam orang dewasa.

Untuk memanen padi yang ditanam di setengah hektar sawah, biasanya perlu 3-5 penggepyok. Biasanya, kebutuhan itu dipenuhi tetangga pemilik padi. Selain pengepyok, dibutuhkan pula 2-4 tukang ngasak atau pengasak, yaitu orang yang mengumpulkan bulir padi dari sisa batang padi yang telah ditumbuk.

Bila meraka diupah Yasin dengan satu kilogram (kg) gabah tiap 10 kg gabah basah yang dihasilkan dari gepyokan, para pengasak yang turut serta dalam kegiatan ini tak diberi upah. Yang mereka dapatkan hanyalah butiran-butiran gabah yang berhasil mereka kumpulkan dari jerami yang sudah digepyok.

"Orang sini menyebutnya ngasak atau ngluru pari. Ini sudah kebiasaan orang desa sini. Ada yang ngasak saat panen. Tujuannya agar gabah yang tak bisa digepyok tak mubazir, tetap bisa dimakan. Jadi, enggak kualat," tutur Pariyah (42), pengasak gabah.

Hasil dari mengasak gabah tak banyak. Menurut Pariyah, dalam sehari paling hanya mendapat 2-3 kg gabah atau setara dengan 1,5 kg beras. Gabah itu mereka bawa pulang

"Kalau dihitung, rasa-rasanya memang sedikit. Kalau dijual paling hasilnya enggak sampai Rp 10.000. Jadi, buat makan sendiri saja. Lumayan, bisa untuk beberapa hari kalau sehari dapat 3 kg gabah," kata pariyah lagi.

Sebagai buruh tani yang penghasilan tiap harinya tak menentu, pariyah sangat terbantu apabila ada tetangganya yang panen. Rezeki yang diterima tetangganya bisa nyiprat ke dirinya dalam bentuk gabah asakan itu. Gabah 2-3 kg yang didapat tak dijual, tetapi langsung ditumbuk menjadi beras sesampainya di rumah.

Selain penggepyok dan pengasak, pengumpul jerami pun mendapatkan bagian berkah dari panen. Sama dengan penggepyok dan pengasak, pengumpul jerami juga pada umumnya adalah tetangga pemilik padi. Mereka membutuhkan jerami untuk berbagai keperluan. Ada yang untuk pakan ternak, pupuk kompos, dan ada pula yang untuk bahan bakar.

"Kalau pas musim panen seperti ini, saya biasanya juga ikut membantu nggepyok dan mengumpulkan jerami bekas panenan. Selain membantu membersihkan sisa jerami, tujuan saya adalah mendapatkan jerami untuk pakan ternak," ujar Solikin (43), yang kemarin ikut gepyokan di sawah milik Yasin.Untuk membersihkan jerami itu, Solikin tak diupah. Namun, mendapatkan jerami untuk pakan ternaknya.

Sebagai pemilik lahan, Yasin senang dengan keterlibatan sejumlah tetangganya itu. Selain membantu proses panen, tetangganya itu juga kecipratan rezeki dari hasil panenan. "Hidup di desa itu enaknya begini. Semuanya masih saling membantu. Kalau ada rejeki, ya sebisanya tetangga kita ikut merasakannya biar tetap guyup dan rukun," kata Yasin memberi alasan. (*)

Jalan Desa Tegalsari Barat Rusak Parah

Radar Pemalang

AMPEL GADING - Kondisi jalan sepanjang 1,5 km Desa TegalSari Barat Kecamatan AmpelGading terlihat kondisinya rusak parah. Bekas aspal terlihat jelas, dan lubang-lubang menghiasi setiap ruas jalan tersebut. Warga pun berinisiatif menimbun lubang tersebut dengan urukan tanah. Jalan yang hubungkan ke Desa Jrakah dan Desa Gondang Kecamatan Taman merupakan jalur pendidikan dan ekonomi warga Desa Tegalsari Barat.

Menurut Adan Haris, Kepala Desa Tegalsari Barat, keinginannya adalah agar jalan tersebut diperbaiki kembali, sehinga memperlancar jalur ekonomi masyarakat di sini dan sekitarnya.

"Kami memberdayakan masyarakat Tegalsari tetapi tidak mungkin dengan kondisi jalan yang memerlukan anggaran yang tidak sedikit, sehingga swadaya masyrakat tidak mungkin dilakukan. Untuk itu, pemerintah harus membantunya," ungkapnya kepada Radar, kemarin.

Haris menambahkan, pengajuan tentang kondisi jalan di desanya telah dilakukan sampai tiga kali tetapi upaya tersebut belum mendapatkan perhatian yang maksimal dari pihak terkait.

"Untuk bulan April memang telah ada ajuan proposal yang akan segera realisasi tetapi hanya sepanjang 650 meter. Sehingga belum mampu memperbaiki akses jalan yang warga sepanjang 1,5 km dari Dusun Sumur Munding menuju Desa Jrakah dan Gondang. Semoga saja ada anggaran perbaikan, agar potensi ekonomi desa dapat maju dengan adanya akses jalan yang mendukung." (mg5)

Sabtu, 21 Maret 2009

Sudah Jenuh dengan Janji

Radar Pemalang, Jum'at 20 Maret 2009

PEMALANG - Jadual kampanye terbuka kini sudah dibuka, namun tak satupun partai politik yang memanfaatkannya untuk berkampanye. Tidak seperti sebelum-sebelumnya, yang kegiatan kampanye terbuka bisa mencapai ribuan massa.
Ketua Lembaga Kajian Informasi Daerah (Lekid) Fuad Zaein mengatakan, sepinya kampanye dimungkinkan karena masyarakat sudah jenuh. "Itu tidak lepas dari model kampanye, yang selama ini dilaksanakan Parpol. Dari dulu sampai sekarang masih sama, dan masyarakat sudah terbiasa dengan itu," ungkapnya, kepada Radar, kemarin.
Selain sudah terbiasa dengan model kampanye, masyarakat juga dianggap sudah jenuh dengan janji-janji yang diungkapkan para calon legislatif (caleg). Karena, apa yang dijanjikan, mulai dulu sampai sekarang, tidak pernah sesuai dengan harapan.
"Masyarakat selama ini berharap banyak kepada para pemimpin, mengenai bakal terjadinya perubahan yang maksimal. Namun harapan itu tidak pernah sesuai. Bahkan, jauh dari kenyataan, sehingga muncul yang namanya frustasi politik," kata dia.
Belum lagi, orang-orang yang dipilih tersebut, selama ini belum bisa memenuhi harapan masyarakat. Kendati demikian, tidak terwujudnya harapan masyarakat, Fuad tidak mau menyalahkan dari satu aspek saja, tapi banyak aspek yang mempengaruhi.
Misalnya masyarakat, selama ini dalam memaknai pemilu, masih perlu diluruskan. Mereka selama ini masih menganggap pemilu itu uang. Begitu juga dengan calegnya, masih menerapkan paradigma pragmatis.
Setiap kali sosialisasi, masih menggunakan cara membagi-bagikan uang kepada masyarakat. Sehingga, masyarakat tidak akan datang ke TPS, kalau tidak ada uang. "Jangan salahkan jika kemudian anggota legislatif atau pemimpin bangsa terpilih, berubah haluan. Yang asalnya mau melakukan perubahan, tapi akhirnya berfikir mengembalikan modal," paparnya.
Agar pemilu ini menjadi baik, Fuad mengungkapkan ada beberapa sistem yang perlu dirubah. Baik sistem yang berada di masyarakat, maupun sistem pemilu itu sendiri. Paradigma caleg dan paradigma masyarakat dalam pemilu, semua harus diluruskan terlebih dahulu. (tat)

Kamis, 19 Maret 2009

Pesanan Jasa Truk untuk Kampanye Sepi

Radar Pemalang, Jum'at 20 Maret 2009

PEMALANG - Dampak pelaksanaan kampanye belum dirasakan pengemudi angkutan umum. Tidak adanya pengerahan massa dalam jumlah besar ke tempat pelaksanaan kampanye membuat pendapatan pengemudi truk tak bertambah. "Sepi. Sudah tiga hari belum dapat order dari pengurus dan orang partai. Padahal pemilu dulu saya selalu dapat order," Yoso, salah seorang Sopir truk LMY kepada Radar kemarin.
Sapto salah seorang pengurus truk LMY mengatakan, belum ada satu partai pun yang mengajukan pesanan truk. Padahal, pada pemilu sebelumnya, 2-3 hari menjelang kampanye terbuka, ia sudah menerima banyak pesanan.
"Sepertinya gereget kampanye kali ini tidak sebesar pemilu- pemilu sebelumnya. Mungkin karena partainya terlalu banyak dan porsi kampanye lebih banyak diambil oleh caleg," katanya. Sekali mengangkut massa, ia mengaku mendapatkan Rp 300.000 per hari. Meski risikonya besar, Sapto tetap berharap banyak partai yang memesan truk untuk kampanye."Hitung-hitung untuk menambah pendapatan karena setoran harian saat ini tidak terlalu besar," ujarnya.
Sapto menambahkan, selama kampanye berlangsung, ia justru banyak menerima pesanan penempelan stiker caleg di truk miliknya. Namun hal itu ditolak karena kurang menguntungkan.Sepinya permintaan mengangkut massa kampanye juga diakui Sanusi, pengemudi Angkot Pemalang- Petarukan. "Enggak tahu ya, kok kampanye kali ini tidak seramai dulu. Apa calon atau partai enggak punya uang atau malas mengeluarkan uang?" ungkap Sanusi. (tat)

Mantan Pejabat Bapeda Diadili

Radar Pemalang, Jum'at,20 Maret 2009

PEMALANG - Mantan Kepala Bidang (Kabid) Sosial Budaya (Sosbud) Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bapeda) Kabupaten Pemalang Drs Moh Mahfud MSi menjalani sidang pertama di Pengadilan Negeri (PN) Pemalang dalam kasus dugaan korupsi pengadaan aspal Bapeda tahun 2004. Dia didampingi pengacaranya Rustam Efendi dari Jakarta.
Sidang dipimpin Hakim SMO Siahaan SH dengan agenda pembacaan dakwaan oleh Jakasa Penuntut Umum Luhur Istighfar SH MHum, Kamis(19/3). Sidang yang dimulai sekitar pukul 13.30 WIB ini tak dipadati pengunjung. Hanya keluarga terdakwa saja yang ikut menyaksikan hingga selesai sekitar pukul 15.00 WIB. Terdakwa yang hadir dengan mengenakan setelah kemeja abu - abu itu dengan tenang menyimak dakwaan.
Sementara JPU dalam dakwaannya mengungkapkan, terdakwa membuat dokumen yang tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya. "Terdapat selisih berat aspal 78 kilogram. Sementara untuk pajak dari Rp 895 juta yang harus dibayarkan hanya terealisasi sebesar Rp 793 juta sehingga ada uang negara sebesar Rp 102 juta yang tidak jelas dikemanakan, namun dalam penyidikan uang tersebut diserahkan ke terdakwa, fee, rekanan," kata dia.
Dalam dakwaan ini, pasal 2, 3 dan 11 UU nomor 39 tahun 1999 digunakan JPU untuk menjerat terdakwa. Dia bisa dipidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun paling lama 20 tahun atau denda paling sedikit Rp 200 juta dan palking banyak Rp 1 miliar.
Majelis hakim yang terdiri dari SMO Siahaan SH, Beslin Sihombing SH dan Ahmad Saripudin SH sempat menanyakan selisih berat aspal tersebut ke JPU untuk memeroleh ketegasan dan dijawabnya dengan pernyataan yang sama dengan dakwaan.
Sementara terdakwa Drs Moh Mahfud MSi saat ditawari hakim apakah akan menjawab dakwaan itu sendiri, kolaborasi dengan penasehat hukum atau menyerahkan sepenuhnya ke penasehat hukum memilih untuk menyerahkan penuh ke Rustam Efendi SH. Sidang akan dilanjutkan pekan mendatang dengan agenda jawaban terdakwa atas dakwaan JPU.
Sebelumnya diberitakan dalam kasus ini negara dirugikan Rp 273 juta lebih berdasarkan audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan(BPKP). Terdakwa terkait dugaan penyimpangan pengadaan aspal dengan dana proyek partisipatif APBD tahun 2004 silam. Proyek ini semula untuk mendorong pemberdayaan dan partisipasi masyarakat dalam membangun desa. Saat itu jumlah penerima proyek ada 13 kecamatan sesuai jumlah proyek dengan dana yang disediakan mencapai Rp 999.817.000 atau sejumlah 2.222 drum.
Mekanisme lelang yang hanya meminjam bendera tujuh rekanan sebagai pelaksana dan pembelian aspal ke Cilacap dilakukan staf DPU kecamatan yakni Hadi Suseno yang telah menjalani vonis pengadilan. Ironisnya pembelian dilakukan ke pengecer bukan ke Pertamina sebagaimana tercantum dalam SPK. Selain itu volume aspal dalam drum standar pertamina seharusnya 156 kg, setelah dicek hanya 126 kg karena pembelian ke pengecer tersebut. Sehingga total berat aspal yang seharusnya 344.410 kg hanya ditemukan 266.152 kg atau hanya seharga Rp 772.639.256, maka terjadi kerugiaan ratusan juta rupiah. (ali)

Rabu, 18 Maret 2009

6 Raperda Ditetapkan Menjadi Perda

Radar Pemalang, 19 Maret 2009

PEMALANG - Sebanyak 6 Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) ditetapkan menjadi Peraturan Daerah (Perda) dalam rapat paripurna, di gedung DPRD Pemalang Selasa (17/3) lalu. Salah satunya dinilai oleh anggota Komisi A Ujiyanto MR masih membuka peluang adanya usul pemekaran wilayah.
Dalam rapat paripurna penetapan 6 Perda itu dipimpin oleh Ketua DPRD Drs HM Imron. Bupati Pemalang HM Machroes SH juga nampak mengikuti acara tersebut hingga usai yang ditandai dengan penyerahan 6 Raperda tersebut.
Ketua DPRD HM Imron dalam kesempatan itu mengemukakan, proses pembahasan 6 Raperda menjadi Perda berjalan sesuai harapan. "Ini karena kesiapan anggota dewan yang terlibat dalam panitia khusus dan dukungan dari jajaran eksekutif," kata dia.
Sementara anggota Komisi A DPRD Pemalang yang pernah memerjuangkan aspirasi masyarakat menuntut pemekaran wilayah menilai salah satu Perda yang mengatur tentang pembentukan penghapusan penggabungan desa dan perubahan status desa menjadi kelurahan masih membuka peluang peristiwa serupa terjadi kembali.
"Menurut kami masih bisa terjadi kembali, kalau melihat materi Perda masih ada kesempatan masyarkat meminta untuk dimekarkan," ujarnya saat dikonfirmasi Rabu (18/3).
Perda yang ditetapkan kemarin adalah Perda retribusi ijin tempat usaha, Perda pembentukan, penghapusan dan penggabungan kelurahan, Perda pembentukan penghapusan penggabungan desa dan perubahan status desa menjadi kelurahan, Perda PDAM, Perda surat izin usaha perdagangan dan Perda penyelenggaraan Pendaftaran Perusahaan. (ali)

Lahan Petani Kekurangan Air

Radar Pemalang,19 Maret 2009

BODEH - Petani Desa Jraganan Kecamatan Bodeh mengalami kesulitan dalam mendapatkan aliran air irigasi karena kondisi dataran sawah yang tinggi dibandingkan dengan persawahan desa lain. Selain itu, dipicu kurangnya pasokan debit air yang kerap menjadi kendala bagi patani sekitar.
Kepala Desa Jraganan, Kardiyanto menerangkan, kondisi persawahan di wilayahnya kekurangan air. Ini karena pasokan air yang mengaliri desanya tidak mencukupi, sehingga tidak sampai kepada sawah petani yang di bagian ujung dari aliran tersier.
"Kondisi ini sudah lama terjadi tetapi pihak yang terkait belum ada upaya untuk mengatasinya. Juga kondisi tersier tempat mengalirnya air ke lahan sawah petani sudah mengalami kerusakan seperti senderan yang telah rusak. Karena tidak terairi kondisinya kering dan banyak rimbunan rumput yang menumbuhinya," ujarnya.
Hal serupa disampaikan Sudono (55), Bendahara Paguyuban Ulu-Ulu Bendungan Kali Wadas. Menurutnya, karena pasokan air yang digunakan warga pada bulan April, Mei dan Juni mengalami penurunan, karena alokasi air yang ada di Kali wadas diarahkan ke PG Sragi, sehingga petani daerah Kecamatan Bodeh, Comal dan Ulujami mengalami kekurangan debit air. (mg5)

Selasa, 17 Maret 2009

Kasus Mantan Bapeda Dilimpahkan ke Pengadilan

Radar Pemalang, 17 March 2009

PEMALANG - Penahanan mantan Kepala Bidang Sosial Budaya Badan Perencanaan dan Pembangunan (Bapeda) Kabupaten Pemalang Drs Moh Mahfud MSi Pebruari yang lalu menunjukkan perkembangan berarti. Kejaksaan Negeri (Kejari) Pemalang sudah melimpahkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP)-nya ke Pengadilan Negeri (PN) Pemalang. Rencananya sidang pertama akan digelar Kamis lusa.
Kepala Kejari Prasetya MP SH melalui Kasi Pidana Khusus (pidsus) Luhur Istighfar SH MH mengemukakan, dalam kasus ini negara dirugikan Rp 273 juta lebih berdasarkan audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). "Dia terkait dugaan penyimpangan pengadaan aspal dengan dana proyek partisipatif APBD tahun 2004 silam. Proyek ini semula untuk mendorong pemberdayaan dan partisipasi masyarakat dalam membangun desa. Saat itu, jumlah penerima proyek ada 13 kecamatan sesuai dengan jumlah proyek dengan dana yang disediakan mencapai Rp 999.817.000 atau sejumlah 2.222 drum," bebernya.
Dari hasil penyidikan, dalam proyek tersebut diduga telah terjadi penyimpangan yakni mekanisme lelang yang hanya meminjam bendera tujuh rekanan sebagai pelaksana. Bahkan pembelian aspal ke Cilacap justru dilakukan sendiri oleh staf DPU kecamatan yakni Hadi Suseno yang telah menjalani proses hukum. Ironisnya, pembelian dilakukan ke pengecer bukan ke Pertamina sebagaiaman tercantum dalam SPK.
Lebih lanjut diketakan, bahwa volume aspal dalam drum standar Pertamina seharusnya 156 kg, setelah dicek hanya 126 kg karena pembelian ke pengecer tersebut. Padahal Bapeda bisa saja melakukan pembelian langsung ke Pertamina tanpa harus melalui distribnutor apalagi pengecer. Sehingga total berat aspal yang seharusnya 344.410 kg hanya ditemukan 266.152 kg atau seharga Rp 772.639.256, maka terjadi kerugiaan ratusan juta rupiah.
"BAP sudah kita limpahkan ke PN dan rencananya Kamis lusa akan digelar sidang pertama," terangnya.(ali)

Komentar
Tulis Komentar

Anak dan Orang Tua Murid Jadi Stres

Anak dan Orang Tua Murid Jadi Stres

Radar Pemalang, 17 March 2009
PEMALANG - Setiap tahun, Ujian Nasional (UN) kerap menjadi 'monster' yang sangat ditakuti, bukan hanya oleh siswa, tetapi orang tua murid pun dibuat panik. Kepanikan inilah yang menimbulkan stres bagi murid maupun orang tua murid.
Wahyuni (38), karyawan swasta di Pemalang, mengaku panik karena anaknya yang duduk di kelas III SMP, tahun ini mengikuti Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN).
Sebagai wanita karier, ibu dua anak ini memiliki keterbatasan waktu untuk mengajari anaknya di rumah. Solusinya, sejak semester pertama di kelas III, dia sudah memasukkan putrinya ke bimbingan belajar yang cukup ternama. Dari Senin hingga Sabtu, anaknya ikut les untuk mempersiapkan diri menghadapi UASBN. "Hari Senin, Selasa, dan Kamis anakku les di Primagama. Rabu dan Jumat, les Bahasa Inggris di LIA. Sabtu les musik," ujarnya.
Tri mengaku, rutinitas seperti itu tak jarang membuat anaknya mengeluh. "Ma, dari Senin sampai Sabtu, aku les. Hari Minggu, aku capek," lanjut dia menirukan ucapan anaknya. Hal ini juga yang membuat Tri memilih pulang kerja lebih awal.. Bahkan tak jarang dia membawa berkas-berkas pekerjaan kantornya untuk dilanjutkan di rumah.
Kepanikan juga dirasakan oleh Hamidah (38), ibu rumah tangga. Dia mengaku panik justru karena anak laki-lakinya yang saat ini duduk di kelas III SMP agak santai menghadapi UN. "Anak saya laki-laki, lain dengan anak perempuan. Dia agak cuek dengan UN. Hal ini yang membuat saya panik, takut dia tidak lulus," lanjutnya.
Anggota Komisi D DPRD Pemalang Drs Masrukhin menyatakan, selama Indonesia merdeka, ujian sekolah yang membuat anak dan orang tua stres adalah UN. Dulu, sewaktu masih berlakunya EBTA dan EBTANAS maupun ujian lainnya, tidak ada kepanikan dan stres.
"Apalagi saat ini passing grade-nya (ambang batas nilai terendah) ditingkatkan dari 5,25 menjadi 5,50. Alasan Depdiknas yaitu agar siswa kita dapat bersaing dengan siswa dari negara lain. Saya setuju, tetapi perlu ada sosialisasi tentang itu. Jadi tidak mendadak langsung ada UN," ia mengingatkan.
Dia menilai kebijakan UN yang diluncurkan secara mendadak oleh Depdiknas, secara psikologis seperti teror. Bahkan guru juga ikut stres, sebab masih ada guru yang mengajar untuk menyelesaikan satu modul pembelajaran. Anak mengerti atau tidak bukan urusan, yang penting si guru telah menyelesaikan satu modul pembelajaran. Ini juga menjadi sumber stres, sehingga UN bukan lagi menjadi sesuatu yang biasa, melainkan sesuatu yang luar biasa

Nasib Petani di Pemalang

Nasib Petani Kabupaten Pemalang

Radar Pemalang, 17 March 2009

Nasib petani selalu tidak pasti, potensi merugi selalu membayangi. Apalagi saat musim penghujan, impian meraih keuntungan panen harus dikubur dalam-dalam. Pasalnya, harga pembelian pokok (HPP) gabah turun tajam hingga Rp 1.600 per kilogram.
Laporan : Tatang Kirana
HERIANTO, seorang petani di wilayah Petarukan mengeluhkan, petani terpaksa merelakan gabahnya ke tengkulak dengan harga ala kadarnya.
"Kadar air yang tinggi membuat kami menyetujui harga yang disodorkan tengkulak. Kalau saya sempat kena Rp 1.800 per kilogram, tapi ada petani yang dibeli harganya Rp 1.600 per kilogram," ujar Herianto.
Di sinilah, sudah waktunya pemerintah mengantisipasi hal tersebut. Termasuk revitalisasi bidang pertanian dengan harus menggandeng berbagai elemen. Misalnya perguruan tinggi, petani, dan perusahaan. Termasuk dalam menerapkan perkembangkan teknologi pertanian terbaru. Sekaligus ada lembaga penjamin pinjaman dana yang bertindak sebagai bank petani.
Kondisi yang sama juga terjadi di Kecamatan Bantarbolang. Suadah, petani dari Desa Bantarbolang, mengaku menjual gabah keringnya dengan harga murah. "Biasanya saya bisa jual Rp 2.800 per kilogram, tapi sekarang paling hanya Rp 2.500 sudah mentok," tutur petani yang mempunyai lahan sekitar satu hektare itu.
Harga tersebut, menurut Suadah, tidak hanya dari tengkulak saja. Masyarakat biasa yang membeli juga memberlakukan harga itu. Karena, menurutnya di saat musim tanam kembali, para petani dipastikan berbarengan menjual hasil panennya. "Biasanya masyarakat jual kan ke selep (tempat penggilingan padi Red), jadi harga tawar antara pengepul dan orang biasa juga sama," jelasnya.
Suadah mengaku, hasil yang didapatnya dari sawah memang tidak seberapa. Bahkan, ia mengaku jika dikalkulasikan bisa mengalami kerugian. Namun, karena terbiasa menggarap sawah, ia tidak pernah mempedulikan hal itu. "Saya tidak pernah menghitung, tapi kemungkinan besar rugi, karena tenaga untuk pertanian sekarang kan juga mahal," ujarnya.
Penurunan tersebut menjadi beban berat para petani. Terlebih, lanjut dia, harga pupuk beberapa waktu lalu juga sempat melonjak. Sehingga dipastikan hasil dari usahanya tersebut tidak bisa menutup biaya produksi selama ini. "Kalau dihitung ya tetap rugi. Lha sekarang semuanya naik. Hasilnya saja yang turun," bebernya.
Iman misalnya, Petani di Kecamatan Pemalang ini mengaku menjual gabahnya pada harga Rp 1.900 per kilogramnya. Harga ini, kata Iman, ditentukan sepihak oleh para tengkulak, tanpa terlebih dulu menguji kadar air dan hampa udara dengan sebuah alat tester. "Karena gabah di sini dihargai segitu, ya saya jual segitu," ujarnya.
Faktor kadar air ini memang menjadi senjata andalan para tengkulak untuk menjatuhkan harga gabah petani. Alhasil, petani seperti Iman pun hanya mampu memperoleh keuntungan sedikit dari hasil mengolah sawahnya. "Kalau dihitung-hitung, hasilnya memang tak sebanding dengan tenaga dan biaya produksi yang telah dikeluarkan," keluh Iman