Pemilu 2009

Pemilu 2009
Anti Politisi Busuk

Anti Korupsi

Anti Korupsi
Jangan pilih pemimpin Korup!!

Selasa, 17 Maret 2009

Nasib Petani di Pemalang

Nasib Petani Kabupaten Pemalang

Radar Pemalang, 17 March 2009

Nasib petani selalu tidak pasti, potensi merugi selalu membayangi. Apalagi saat musim penghujan, impian meraih keuntungan panen harus dikubur dalam-dalam. Pasalnya, harga pembelian pokok (HPP) gabah turun tajam hingga Rp 1.600 per kilogram.
Laporan : Tatang Kirana
HERIANTO, seorang petani di wilayah Petarukan mengeluhkan, petani terpaksa merelakan gabahnya ke tengkulak dengan harga ala kadarnya.
"Kadar air yang tinggi membuat kami menyetujui harga yang disodorkan tengkulak. Kalau saya sempat kena Rp 1.800 per kilogram, tapi ada petani yang dibeli harganya Rp 1.600 per kilogram," ujar Herianto.
Di sinilah, sudah waktunya pemerintah mengantisipasi hal tersebut. Termasuk revitalisasi bidang pertanian dengan harus menggandeng berbagai elemen. Misalnya perguruan tinggi, petani, dan perusahaan. Termasuk dalam menerapkan perkembangkan teknologi pertanian terbaru. Sekaligus ada lembaga penjamin pinjaman dana yang bertindak sebagai bank petani.
Kondisi yang sama juga terjadi di Kecamatan Bantarbolang. Suadah, petani dari Desa Bantarbolang, mengaku menjual gabah keringnya dengan harga murah. "Biasanya saya bisa jual Rp 2.800 per kilogram, tapi sekarang paling hanya Rp 2.500 sudah mentok," tutur petani yang mempunyai lahan sekitar satu hektare itu.
Harga tersebut, menurut Suadah, tidak hanya dari tengkulak saja. Masyarakat biasa yang membeli juga memberlakukan harga itu. Karena, menurutnya di saat musim tanam kembali, para petani dipastikan berbarengan menjual hasil panennya. "Biasanya masyarakat jual kan ke selep (tempat penggilingan padi Red), jadi harga tawar antara pengepul dan orang biasa juga sama," jelasnya.
Suadah mengaku, hasil yang didapatnya dari sawah memang tidak seberapa. Bahkan, ia mengaku jika dikalkulasikan bisa mengalami kerugian. Namun, karena terbiasa menggarap sawah, ia tidak pernah mempedulikan hal itu. "Saya tidak pernah menghitung, tapi kemungkinan besar rugi, karena tenaga untuk pertanian sekarang kan juga mahal," ujarnya.
Penurunan tersebut menjadi beban berat para petani. Terlebih, lanjut dia, harga pupuk beberapa waktu lalu juga sempat melonjak. Sehingga dipastikan hasil dari usahanya tersebut tidak bisa menutup biaya produksi selama ini. "Kalau dihitung ya tetap rugi. Lha sekarang semuanya naik. Hasilnya saja yang turun," bebernya.
Iman misalnya, Petani di Kecamatan Pemalang ini mengaku menjual gabahnya pada harga Rp 1.900 per kilogramnya. Harga ini, kata Iman, ditentukan sepihak oleh para tengkulak, tanpa terlebih dulu menguji kadar air dan hampa udara dengan sebuah alat tester. "Karena gabah di sini dihargai segitu, ya saya jual segitu," ujarnya.
Faktor kadar air ini memang menjadi senjata andalan para tengkulak untuk menjatuhkan harga gabah petani. Alhasil, petani seperti Iman pun hanya mampu memperoleh keuntungan sedikit dari hasil mengolah sawahnya. "Kalau dihitung-hitung, hasilnya memang tak sebanding dengan tenaga dan biaya produksi yang telah dikeluarkan," keluh Iman

Tidak ada komentar: